JAKARTA – Selama satu pekan terakhir, laju rupiah tercatat masih memprihatinkan dengan berada di level Rp14.500-Rp14.600 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan hari ini, rupiah tetap menggambarkan statistik yang suram dan masih belum memberikan harapan untuk mengalami penguatan signifikan di level Rp14.651.
Berdasarkan pantauan dari data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah kembali merosot ke level Rp14.643 pada penutupan perdagangan Kamis, (29/8). Tercatat, mata uang garuda melemah tipis sebesar 29 poin atau 0,19 persen dibandingkan penutupan kemarin di level Rp14.614 per dolar AS.
Elquino Simanjuntak, Chief Risk Officer Akseleran, mengatakan bahwa pergerakan mata uang rupiah yang terus berada dalam pelemahan karena mayoritas dipengaruhi oleh pasar. Sedangkan kata dia, apa yang dilakukan oleh pemerintah sejauh ini dengan menetapkan rupiah secara fundamental di level Rp13.900 pada tahun ini sudah di jalur yang benar.
“Pemerintah sudah on the right track, meski demikian tetap tidak bisa sepenuhnya mendikte pasar. Akan tetapi, dengan kondisi seperti saat ini ada baiknya pemerintah tetap ada di pasar, memperhatikan pasar dan BI juga terus mengintervensi pasar agar menjaga pelemahan rupiah tidak semakin merosot,” ujar Elquino di Jakarta, Kamis (29/8).
Dia pun mengungkapkan, pergerakan nilai tukar dolar AS ke rupiah yang begitu cepat juga dipengaruhi oleh aspek kemanusiaan pelaku transaksi. Menurutnya, mata uang adalah salah satu bentuk investasi dan investor akan selalu berupaya mencari laba sehingga dalam transaksi mata uang sama seperti transaksi harga komoditas maka yang dicari investor adalah fluktuasi/volatilitas (VIX) karena apabila terjadi demikian mereka bisa mendapatkan laba dengan memasang posisi.
“Walaupun investor sekarang ini telah banyak menggunakan data untuk pengambilan keputusan, tetapi investor profesional sekalipun akan menggunakan insting dalam penentuan pemasangan posisi. Insting inilah yang didasari oleh emosi manusia yang dipengaruhi oleh ekspektasi dan atau historis. Insting trader inilah yang mendorong tinggi atau rendahnya volatilitas pada saat mereka melihat data fundamental ekonomi. Kondisi ini terlihat dari perbandingan antara pergerakan nilai tukar dolar AS ke rupiah dibandingkan dengan pergerakan nilai tukar euro ke rupiah ataupun yen ke rupiah,” jelasnya.
Ke depannya, Elquino mengharapkan, pemerintah dan BI terus mendorong perkembangan industri kreatif, pariwisata dan ekspor. Tujuannya, kata dia, agar selalu tercipta kemampuan menghasilkan devisa yang lebih baik dari sekarang ini, dimana inflow devisa harus tetap lebih besar dari outflow devisa.
Di sisi lain, dia menegaskan, pelemahan rupiah tidak mempengaruhi mobilitas pertumbuhan bisnis Akseleran yang mayoritas inputnya domestik. Elquino berpendapat, untuk pelaku usaha yang seluruh biaya usahanya termasuk biaya produksinya menggunakan rupiah apabila dia menjualnya secara ekspor maupun domestik akan menguntungkan. Akan tetapi, jika biaya usaha dan biaya produksinya ada komponen mata uang asing dengan laju rupiah yang masih bergejolak terlalu lebar akan menjadi ancaman serius karena memakan laba.
“Dari borrower Akseleran, 100% biaya operasionalnya adalah rupiah maka tidak akan terpengaruh. Justru, yang terpengaruh adalah kalau ada biaya produksi dan biaya operasionalnya dengan menggunakan mata uang asing,” tambah Elquino.